Wednesday, October 28, 2015

Project #16 - THE NEW TESTAMENT WORLD


Copyrighted Material (Source: PT. Gandum Mas)

 Uraian ringkas tentang Sejarah dan Kondisi yang Menentukan Latar Belakang Perjanjian Baru
 EDISI KETIGA, REVISI
 H. E . Dana

KUTIPAN PENDAHULUAN

Metode pendekatan historis terhadap Perjanjian Baru tidak pelak lagi menimbulkan beberapa pertanyaan mendesak dalam benak peneliti Kristen injili. Pertama-tama, karena Perjanjian Baru merupakan kebenaran ilahi tentang penebusan, dia ingin tahu mengapa kita perlu mengaitkan diri kita sendiri dengan faktor-faktor umum sejarah manusia. Dan bagaimana keadaan duniawi dapat digunakan dalam upaya memahami pesan surgawi? Alasan dan dasar kebenaran apakah yang kita miliki dalam pendekatan historis terhadap wahyu ilahi? Mengingat tujuan khusus karya ini adalah membantu peneliti injili yang taat, kami merasa perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sebagai langkah permulaan pembahasan.
Alasan studi historis ini terletak pada unsur manusia yang tidak dapat disangkal dan tak terelakkan dalam Perjanjian Baru. Unsur manusia ini penting dalam hal efisiensinya pada pengalaman spiritual manusia sama seperti unsur ilahi. Mustahil bagi Allah untuk berbicara kepada manusia dan dapat dipahami tanpa melibatkan unsur manusia ini dalam pesan-Nya. Bahkan jika Perjanjian Baru merupakan kumpulan sabda ilahi, bebas dari keterkaitan apa pun dengan pengalaman manusia, sabda-sabda ini perlu diterangkan dalam bahasa manusia. Tetapi, sebaliknya, studi induktif terhadap kitab-kitab dalam Perjanjian Baru membuktikan bahwa kitab-kitab tersebut bukan merupakan pesan-pesan sabda yang dikirimkan dari surga tanpa medium duniawi apa pun, tetapi sebenarnya muncul dari keberadaan manusia sejati dan ditimbulkan oleh pengaruh-pengaruh manusia biasa. Unsur manusia semata-mata merupakan suatu fakta yang tidak diragukan lagi muncul dengan sendirinya pada lembaran-lembaran Perjanjian Baru sebagaimana adanya kita lihat.
Tetapi kita juga percaya bahwa unsur manusia itu sendiri tidak dapat menjelaskan Kitab ini. Kita percaya bahwa pengenalan unsur manusia juga diperlukan untuk menjelaskannya secara rasional dengan sangat memuaskan. Orang-orang mengalami beberapa kesulitan besar saat berupaya menjelaskan Perjanjian Baru hanya dengan unsur manusia seperti yang dijumpai dalam upaya memahaminya semata-mata sebagai keilahian. Keduanya harus diterima jika kita ingin memenuhi tuntutan dari semua tindakan tersebut.
Jadi Perjanjian Baru bergantung pada pendekatan historis, namun pendekatan historis itu tidak mengantisipasi pendekatan iman religius. Kita perlu memperhatikan dasar kebenaran dan keterbatasan metode historis.
Unsur manusia dalam Perjanjian Baru muncul dengan sendirinya dalam bagian-bagian yang menonjol. Misalnya, kita menemukan ada jejak individualitas manusia yang jelas sekali. Banyak penulis menyajikan beberapa gaya yang berbeda, sifat-sifat psikologis yang berbeda, beberapa konsepsi kelompok karakteristik yang berbeda, dan berbagai cara pernyataan yang berbeda.Tidak ada yang bisa mempelajari secara cermat tulisan Paulus dan Yohanes tanpa terkesan dengan perbedaan antara keduanya. Gaya Paulus kebanyakan sukar dan rumit, sedangkan gaya Yohanes sederhana dan ringan. Hal ini tentu saja paling jelas dideteksi dalam teks Yunani, namun bahkan teks bahasa Inggris memperlihatkannya sampai batas tertentu. Paulus mengamati ajaran Kristen sebagai suatu sistem dari prinsip-prinsip yang secara logis terkait dengan yang disebutnya “injil”; sedangkan Yohanes memperhatikan sekelompok ide mistis yang konkret di dalamnya yang disebutnya “kebenaran.” Menurut Paulus, persoalan penebusan manusia merupakan antitesis dari hukum dan kasih karunia, karya dan iman, jasa dan pembenaran. Menurut Yohanes, antithesis itu adalah hidup dan mati, terang dan gelap. Dalam Injil Markus kita menemukan gaya bahasa daerah khas yang bebas dan tidak sempurna, sementara tulisan-tulisan Lukas menyajikan bagian penutup bahasa sastra yang dibandingkan sama baiknya dengan beberapa literatur Yunani terbaik pada zamannya. Perbedaan-perbedaan ini merupakan fenomena jelas dan tak terbantahkan yang muncul pada teks Perjanjian Baru, dan hanya dapat dijelaskan sebagai kapasitas dan kecakapan individu yang bebas dan wajar.
Perjanjian Baru memiliki jejak-jejak kehidupan yang jelas dari asal-usulnya. Kitab ini ditulis oleh orang-orang Yahudidengan kemungkinan pengecualian Injil Ketiga (Lukas) dan Kisah Para Rasuldan jelas merupakan kitab Yahudi. Selama berabad-abad dinyatakan bahwa bahasa Perjanjian Baru adalahsuara Roh Kudus secara khusus, yang dengan sempurna disampaikan sebagai pembawa wahyu tentang penebusan. Pemikiran ini muncul karena fakta bahwa bahasa Perjanjian Baru tidak seperti bahasa Atika kuno atau Yunani klasik. Tetapi selama abad lalu telah diketahui bahwa Perjanjian Baru disusun dalam bahasa Yunani biasa sehari-hari di dunia itu pada masanya. Perjanjian Baru menggambarkan kebiasaan dan ide-ide tertentu dari rakyat Palestina, tanpa pengetahuan apa pun sehingga mustahil untuk menafsirkannya secara tepat. Ini hanya fakta yang disajikan oleh Perjanjian Baru itu sendiri yang terkait erat dengan kehidupan yang dihasilkannya.
Setiap kitab atau tulisan Perjanjian Baru memiliki semacam hubungan dengan situasi sejarah tertentu. Dengan pengecualian beberapa kasus, kita mungkin memahami dengan tingkat kepastian yang tinggi tentang apakah situasi-situasi ini. Orang-orang di tengah pengalaman hidup mereka, dalam mengatasi masalah dan tuntutan yang dibebankan kepada mereka oleh lingkungan mereka sendiri, menuliskan atau menyuarakan pesan-pesan mereka dengan berapi-api. Mengetahui situasi-situasi sejarah ini akan menambah pemahaman dan apresiasi terhadap kitab atau bagian tertentu sampai ke tingkat tak terhingga pada saat meninjaunya.
Perjanjian Baru tidak dapat ditafsirkan secara memadai jika ditinjau sebagai kumpulan sabda terpisah yang diturunkan dari surga, tanpa mengacu pada pengalaman manusia dan lingkungan di tengah-tengah tempat kitab itu ditulis. Ini memang wahyu ilahi tentang penebusan, tetapi wahyu ini tidak muncul sebagai hasil yang terlepas dari hubungan sejarah. Allah berkenan mengungkapkan penebusan-Nya di dalam dan melalui sejarah, dan kita tidak mampu memahami wahyu itu dengan benar sampai kita meninjaunya dari segi sejarah. Perjanjian Baru adalah kebenaran tentang penebusan Allah yang dimediasi kepada manusia melalui pengalaman manusia dan kesadaran manusia. Apabila ditinjau dari sudut pandang ini maka yang terbaik adalah memahaminya dan menghasilkan harta yang melimpah.
Hal yang penting adalah membedakan pengaruh nyata kondisi lingkungan berdasarkan pemikiran yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru. Lingkungan sejarah bukan sumber asli dari pemikiran dan ajaran tersebut. Harapan besar, konsepsi yang dijunjung tinggi, dan cita-cita suci yang melandasi karakter khas kehidupan rasuli mulai dikaitkan dengan Yesus dan pengalaman-pengalaman yang berkembang dari kebangkitan-Nya dan kedatangan Roh Kudus. Kalau bukan karena fakta-fakta dasar pengalaman ini, kekuatan lingkungan sejarah tidak pernah bisa membuahkan hasil yang transenden. Oleh karena itu, lingkungan sejarah merupakan kerangka eksternal dari Injil: inti utamanya adalah hasil dari pengalaman di dalam Kristus.
Kita harus menggunakan pendekatan historis dalam memahami bentuk-bentuk ungkapan, beberapa kondisi yang tercermin, dan sejumlah pertimbangan terhadap arah pemikiran dan kehidupan dalam Perjanjian Baru. Artinya, para penulis menggunakan peristilahan, fraseologi, dan rangkaian kata-kata kiasan di zaman mereka; mereka mengambil ide-ide atau fakta yang menurut mereka sudah akrab bagi para pembaca; mereka menulis karena tuntutan beberapa keadaan yang sudah ada; mereka mengambil bagian dalam menerapkan Injil bagi beberapa situasi yang mereka hadapi. Peneliti harus memiliki beberapa pengetahuan tentang segi-segi kehidupan di balik Perjanjian Baru sebelum ia cukup bisa memahami pesannya. Itulah proses yang terlibat dalam pendekatan historis.
Namun, pendekatan historis bukanlah tanpa beberapa batasan penting. Sama pentingnya dengan memahami apakah sebenarnya metode historis itu, penting juga berhati-hati terhadap beberapa topik pada metode sejarah yang mungkin disalahgunakan seseorang. Kurangnya kewaspadaan, dan penyalahgunaan yang didorong oleh praduga, telah menyebabkan kerugian serius dalam penggunaan pendekatan historis, dan menerima penolakanyang tidak adil dari orang-orang injili. Ada beberapa batasan esensial yang sewajarnya harus dipatuhi peneliti sejarah.
1.    Metode historis tidak menghendaki kita mengurangi Perjanjian Baru menjadi apa yang mungkin kita anggap wajar, atau dapat dijelaskan secara ilmiah. Motif yang tepat adalah menguraikan catatan masa lalu, bukan menolaknya. Pendekatan historis sangat berbeda dari pendekatan naturalistik atau rasionalistik. Ini adalah penyalahgunaan metode historis yang digunakan sebagai cara menyesuaikan Perjanjian Baru dengan jenis pemikiran tertentu, sikap skeptis terhadap supranatural. Orang yang berkeinginan memanfaatkan jenis pemikiran seperti itu memiliki hak mutlak untuk melakukannya, tetapi seharusnya tidak melakukannya atas nama metode historis, dan mengesampingkan semua kelompok penyelidikan sejarah yang tidak menganut pendapat ini. Hal itu tidak perlu karena sesuai prasyarat metode historis bahwa kita meninggalkan keyakinan kita dalam Perjanjian Baru sebagai perantaraan Allah melalui penebusan ke dalam rangkaian sejarah manusia. Metode historis berhubungan dengan fenomena perkembangan manusia dalam periode Perjanjian Baru; keyakinan agama menganggap sejarah itu berasal dari signifikansi penebusan. Keyakinan seperti itu tidak membingungkan kecuali berusaha memaksakan sejarah yang disesuaikan dengan perkiraannya sendiri.
2.    Metode historis tidak menghendaki kita menganggap interpretasi religious dari berbagai peristiwa sebagai penemuan atau penyimpangan tradisi. Karena para penulis Perjanjian Baru memiliki kepentingan keagamaan yang besar tentang apa yang mereka catat atau bahas, dan mengungkapkan catatan mereka tentang beberapa peristiwa dalam jejak-jejak refleksi dan pengalaman,tidak mendiskualifikasi mereka sebagai sejarawan yang dapat diandalkan. Sebaliknya, ini mempertinggi nilai catatan mereka. Misalkan saja para sejarawan pada Zaman Rasuli yang menyampaikan Perjanjian Baru tidak lebih dari sejarah sebenarnya, sebuah kronik yang tidak memihak dari beberapa peristiwa, terlepas dari semua dampak luar biasa pada hati nurani dan pengalaman mereka sendiri serta aspek kekal yang muncul dari keadaan jiwa mereka yang bersemangat, dan kemudian membayangkan jika seberapa banyak Anda dapat menyerukannya akan membuat pemikiran religius dari satu generasi di abad sembilan belas beralih dari peristiwa-peristiwa tersebut. Kepentingan religius terhadap Perjanjian Baru inilah yang memberikan sifat abadi dan nilainya kepada generasi-generasi berikutnya. Ini bukan fakta-fakta sejarah Kristen abad pertama yang terutama menarik minat kita, tetapi faktor-faktor fungsional dari pengalaman orang Kristen abad pertama. Oleh karena itu, peneliti sejarah yang kompeten menemukan nilai substansial dalam reaksi yang tercermin dari kesadaran orang Kristen abad pertama terhadap beberapa peristiwa di masa itu, serta merenungkan kepentingan dan interpretasi religius sebagai bagian esensial dari sejarah, dan bukan selubung tak berharga yang harus dideteksi dan dibuang dalam upaya mencapai “sisa sejarah asli.” Sisa sejarah itu tidak akan berharga tanpa “imbuhan tradisional yang telah dikumpulkan sebagai hasil dari kepentingan religius dan reaksi Kekristenan rasuli.
3.    Metode historis tidak menghendaki kita menolak Perjanjian Baru sebagai norma yang berlaku bagi kepercayaan dan pengalaman Kristen. Di sini pendekatan historis dibedakan dari pendapat filosofis tertentu. Ada sebuah sekolah filsafat modern terkenal yang menganggap kebenaran itu relatif dan berubah-ubah bukan stabil dan mutlak, dan berdasarkan hipotesis ini tidak ada wahyu kebenaran yang dapat diberikan dalam sejarah yang akan menjadi norma terakhir bagi generasi-generasi berikutnya. Tetapi ini terutama merupakan persoalan filsafat, bukan persoalan sejarah. Tujuan metode sejarah adalah memahami fakta-fakta dan menafsirkan pelaksanaannya dalam pengalaman Kekristenan abad pertama; bukan wewenangnya untuk menentukan apakah fakta-fakta dan signifikansinya itu ditujukan kepada pandangan dan hati nurani individu di abad kedua puluh. Dengan demikian ini tidak mendiskualifikasinya sebagai peneliti sejarah sebab dia melihat suatu standar dalam Perjanjian Baru bagi pengalaman religiusnya sendiri.
Apabila batasan-batasan ini dihargai dan dipatuhi, metode historis memiliki nilai bagi peneliti injili, dan tidak perlu ditolak karena dalam arti apa pun merupakan ancaman bagi iman Kristen yang paling teguh.
Fakta bahwa Perjanjian Baru jelas terjalin erat dengan rangkaian besar sejarah manusia, bukan menjadi penghalang bagi iman dan ketaatan, seharusnya menjadi alat bantu bagi keduanya. Selayaknya sangat menginspirasi apabila menyadari bahwa Allah tentu bersifat imanen dalam sejarah seperti dalam Alkitab. Ini hanyalah sejenis imanensi yang berbeda. Imanensi-Nya dalam sejarah merupakan cara pemeliharaan yang luar biasa. Imanensi-Nya dalam Alkitab adalah dengan wahyu khusus. Sejarah memang merupakan “Kisah-Nya. Inilah sebuah catatan petunjuk Allah tentang perkembangan manusia. Sejarah adalah bentangan luas penebusan ilahi, dan Perjanjian Baru adalah puncak gunung bermahkotakan kemuliaan yang memberikan pancaran anugerah dan keindahan seluruhnya. Semua kontur sejarah terdahulu dan berikutnya berpusat di seluruh tempat menguntungkan pada puncak-puncak transendennya. Setiap unsur yang berperan pada isi sastra oleh sejarah terdahulu dan kontemporer memperlihatkan kehidupan manusia yang ditinggikan dan diterangi oleh makna mulia rencana penebusan Allah. Dilihat dengan cara ini, Perjanjian Baru sebagai hasil dan faktor sejarah manusia lebih dipandang sebagai buah karya Allah. Allah yang sama, dari segi ilahi, menginspirasi individu para penulis, juga berkarya pada segi manusia untuk memperlengkapi situasi historis yang memadai di tempat Kerajaan-Nya akan ditegakkan. Dalam terang cahaya suci ini, Kekristenan abad pertama menyajikan signifikansi, dan ditentukan untuk tetap, tidak paralel dengan catatan sejarah umat manusia.

Diterbitkan oleh. PT. Gandum Mas - Malang, Jatim

© Sojourners Rendezvous
Maira Gall