Copyrighted Material (Source: PT. Gandum Mas) |
Uraian ringkas tentang Sejarah dan
Kondisi yang Menentukan Latar Belakang
Perjanjian Baru
EDISI KETIGA, REVISI
H. E . Dana
KUTIPAN PENDAHULUAN
Metode pendekatan historis terhadap Perjanjian Baru
tidak pelak lagi menimbulkan beberapa pertanyaan mendesak dalam benak peneliti
Kristen injili. Pertama-tama, karena Perjanjian Baru merupakan kebenaran ilahi
tentang penebusan, dia ingin tahu mengapa kita perlu mengaitkan diri kita
sendiri dengan faktor-faktor umum sejarah manusia. Dan bagaimana keadaan
duniawi dapat digunakan dalam upaya memahami pesan surgawi? Alasan dan dasar kebenaran
apakah yang kita miliki dalam pendekatan historis terhadap wahyu ilahi? Mengingat
tujuan khusus karya ini adalah membantu peneliti injili yang taat, kami merasa
perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sebagai langkah permulaan pembahasan.
Alasan studi historis ini terletak
pada unsur manusia yang tidak dapat disangkal dan tak terelakkan dalam
Perjanjian Baru. Unsur manusia ini penting dalam hal efisiensinya pada pengalaman
spiritual manusia sama seperti unsur ilahi. Mustahil bagi Allah untuk berbicara
kepada manusia dan dapat dipahami tanpa melibatkan unsur manusia ini dalam
pesan-Nya. Bahkan jika Perjanjian Baru merupakan kumpulan sabda ilahi, bebas
dari keterkaitan apa pun dengan pengalaman manusia, sabda-sabda ini perlu diterangkan
dalam bahasa manusia. Tetapi, sebaliknya, studi induktif terhadap kitab-kitab
dalam Perjanjian Baru membuktikan bahwa kitab-kitab tersebut bukan merupakan
pesan-pesan sabda yang dikirimkan dari surga tanpa medium duniawi apa pun, tetapi
sebenarnya muncul dari keberadaan manusia sejati dan ditimbulkan oleh
pengaruh-pengaruh manusia biasa. Unsur manusia semata-mata merupakan suatu
fakta yang tidak diragukan lagi muncul dengan sendirinya pada lembaran-lembaran
Perjanjian Baru sebagaimana adanya kita lihat.
Tetapi kita juga percaya bahwa unsur
manusia itu sendiri tidak dapat menjelaskan Kitab ini. Kita percaya bahwa
pengenalan unsur manusia juga diperlukan untuk menjelaskannya secara rasional dengan
sangat memuaskan. Orang-orang mengalami beberapa kesulitan besar saat berupaya
menjelaskan Perjanjian Baru hanya dengan unsur manusia seperti yang dijumpai dalam
upaya memahaminya semata-mata sebagai keilahian. Keduanya harus diterima jika
kita ingin memenuhi tuntutan dari semua tindakan tersebut.
Jadi Perjanjian Baru bergantung
pada pendekatan historis, namun pendekatan historis itu tidak mengantisipasi pendekatan
iman religius. Kita perlu memperhatikan dasar kebenaran dan keterbatasan metode
historis.
Unsur manusia dalam Perjanjian Baru
muncul dengan sendirinya dalam bagian-bagian yang menonjol. Misalnya, kita
menemukan ada jejak individualitas manusia yang jelas sekali. Banyak penulis
menyajikan beberapa gaya yang berbeda, sifat-sifat psikologis yang berbeda, beberapa
konsepsi kelompok karakteristik yang berbeda, dan berbagai cara pernyataan yang
berbeda.Tidak ada yang bisa mempelajari secara cermat tulisan Paulus dan
Yohanes tanpa terkesan dengan perbedaan antara keduanya. Gaya Paulus kebanyakan
sukar dan rumit, sedangkan gaya Yohanes sederhana dan ringan. Hal ini tentu
saja paling jelas dideteksi dalam teks Yunani, namun bahkan teks bahasa Inggris
memperlihatkannya sampai batas tertentu. Paulus mengamati ajaran Kristen
sebagai suatu sistem dari prinsip-prinsip yang secara logis terkait dengan yang
disebutnya “injil”; sedangkan Yohanes memperhatikan sekelompok ide mistis yang konkret
di dalamnya yang disebutnya “kebenaran.” Menurut Paulus, persoalan penebusan manusia
merupakan antitesis dari hukum dan kasih karunia, karya dan iman, jasa dan
pembenaran. Menurut Yohanes, antithesis itu adalah hidup dan mati, terang dan
gelap. Dalam Injil Markus kita menemukan gaya bahasa daerah khas yang bebas dan
tidak sempurna, sementara tulisan-tulisan Lukas menyajikan bagian penutup bahasa
sastra yang dibandingkan sama baiknya dengan beberapa literatur Yunani terbaik pada
zamannya. Perbedaan-perbedaan ini merupakan fenomena jelas dan tak terbantahkan
yang muncul pada teks Perjanjian Baru, dan hanya dapat dijelaskan sebagai kapasitas
dan kecakapan individu yang bebas dan wajar.
Perjanjian Baru memiliki jejak-jejak
kehidupan yang jelas dari asal-usulnya. Kitab ini ditulis oleh orang-orang
Yahudi—dengan
kemungkinan pengecualian Injil Ketiga (Lukas) dan Kisah Para Rasul—dan
jelas merupakan kitab Yahudi. Selama berabad-abad dinyatakan bahwa bahasa
Perjanjian Baru adalahsuara Roh Kudus secara khusus, yang dengan sempurna disampaikan
sebagai pembawa wahyu tentang penebusan. Pemikiran ini muncul karena fakta
bahwa bahasa Perjanjian Baru tidak seperti bahasa Atika kuno atau Yunani klasik.
Tetapi selama abad lalu telah diketahui bahwa Perjanjian Baru disusun dalam
bahasa Yunani biasa sehari-hari di dunia itu pada masanya. Perjanjian Baru
menggambarkan kebiasaan dan ide-ide tertentu dari rakyat Palestina, tanpa
pengetahuan apa pun sehingga mustahil untuk menafsirkannya secara tepat. Ini
hanya fakta yang disajikan oleh Perjanjian Baru itu sendiri yang terkait erat
dengan kehidupan yang dihasilkannya.
Setiap kitab atau tulisan
Perjanjian Baru memiliki semacam hubungan dengan situasi sejarah tertentu.
Dengan pengecualian beberapa kasus, kita mungkin memahami dengan tingkat
kepastian yang tinggi tentang apakah situasi-situasi ini. Orang-orang di tengah
pengalaman hidup mereka, dalam mengatasi masalah dan tuntutan yang dibebankan
kepada mereka oleh lingkungan mereka sendiri, menuliskan atau menyuarakan pesan-pesan
mereka dengan berapi-api. Mengetahui situasi-situasi sejarah ini akan menambah pemahaman
dan apresiasi terhadap kitab atau bagian tertentu sampai ke tingkat tak
terhingga pada saat meninjaunya.
Perjanjian Baru tidak dapat
ditafsirkan secara memadai jika ditinjau sebagai kumpulan sabda terpisah yang
diturunkan dari surga, tanpa mengacu pada pengalaman manusia dan lingkungan di
tengah-tengah tempat kitab itu ditulis. Ini memang wahyu ilahi tentang penebusan,
tetapi wahyu ini tidak muncul sebagai hasil yang terlepas dari hubungan
sejarah. Allah berkenan mengungkapkan penebusan-Nya di dalam dan melalui
sejarah, dan kita tidak mampu memahami wahyu itu dengan benar sampai kita meninjaunya
dari segi sejarah. Perjanjian Baru adalah kebenaran tentang penebusan Allah yang
dimediasi kepada manusia melalui pengalaman manusia dan kesadaran manusia. Apabila
ditinjau dari sudut pandang ini maka yang terbaik adalah memahaminya dan menghasilkan
harta yang melimpah.
Hal yang penting adalah membedakan pengaruh
nyata kondisi lingkungan berdasarkan pemikiran yang dinyatakan dalam Perjanjian
Baru. Lingkungan sejarah bukan sumber asli dari pemikiran dan ajaran tersebut. Harapan
besar, konsepsi yang dijunjung tinggi, dan cita-cita suci yang melandasi
karakter khas kehidupan rasuli mulai dikaitkan dengan Yesus dan pengalaman-pengalaman
yang berkembang dari kebangkitan-Nya dan kedatangan Roh Kudus. Kalau bukan
karena fakta-fakta dasar pengalaman ini, kekuatan lingkungan sejarah tidak
pernah bisa membuahkan hasil yang transenden. Oleh karena itu, lingkungan sejarah
merupakan kerangka eksternal dari Injil: inti utamanya adalah hasil dari pengalaman
di dalam Kristus.
Kita harus menggunakan pendekatan
historis dalam memahami bentuk-bentuk ungkapan, beberapa kondisi yang tercermin,
dan sejumlah pertimbangan terhadap arah pemikiran dan kehidupan dalam
Perjanjian Baru. Artinya, para penulis menggunakan peristilahan, fraseologi,
dan rangkaian kata-kata kiasan di zaman mereka; mereka mengambil ide-ide atau
fakta yang menurut mereka sudah akrab bagi para pembaca; mereka menulis karena tuntutan
beberapa keadaan yang sudah ada; mereka mengambil bagian dalam menerapkan Injil
bagi beberapa situasi yang mereka hadapi. Peneliti harus memiliki beberapa pengetahuan
tentang segi-segi kehidupan di balik Perjanjian Baru sebelum ia cukup bisa
memahami pesannya. Itulah proses yang terlibat dalam pendekatan historis.
Namun, pendekatan historis bukanlah
tanpa beberapa batasan penting. Sama pentingnya dengan memahami apakah sebenarnya
metode historis itu, penting juga berhati-hati terhadap beberapa topik pada metode
sejarah yang mungkin disalahgunakan seseorang. Kurangnya kewaspadaan, dan penyalahgunaan
yang didorong oleh praduga, telah menyebabkan kerugian serius dalam penggunaan pendekatan
historis, dan menerima penolakanyang tidak adil dari orang-orang injili. Ada beberapa
batasan esensial yang sewajarnya
harus dipatuhi peneliti sejarah.
1. Metode historis tidak menghendaki
kita mengurangi Perjanjian Baru menjadi apa yang mungkin kita anggap
wajar, atau dapat
dijelaskan secara ilmiah. Motif yang tepat adalah
menguraikan catatan masa lalu, bukan
menolaknya. Pendekatan
historis sangat berbeda
dari pendekatan naturalistik atau rasionalistik. Ini
adalah
penyalahgunaan metode historis yang digunakan sebagai cara menyesuaikan Perjanjian Baru dengan
jenis pemikiran tertentu, sikap skeptis terhadap supranatural. Orang yang
berkeinginan memanfaatkan
jenis pemikiran seperti itu memiliki hak mutlak untuk
melakukannya, tetapi seharusnya tidak melakukannya atas nama metode
historis, dan mengesampingkan semua kelompok
penyelidikan sejarah yang tidak
menganut pendapat ini. Hal
itu tidak perlu karena
sesuai prasyarat metode historis
bahwa kita meninggalkan keyakinan kita dalam Perjanjian
Baru sebagai perantaraan Allah melalui penebusan ke dalam rangkaian sejarah manusia. Metode historis
berhubungan dengan
fenomena perkembangan manusia dalam periode Perjanjian Baru;
keyakinan agama menganggap sejarah itu
berasal dari signifikansi penebusan. Keyakinan
seperti itu tidak membingungkan kecuali berusaha memaksakan sejarah yang disesuaikan dengan perkiraannya sendiri.
2. Metode historis tidak menghendaki kita menganggap interpretasi religious dari
berbagai peristiwa sebagai
penemuan atau penyimpangan tradisi. Karena para penulis Perjanjian Baru memiliki kepentingan keagamaan yang besar tentang apa yang mereka catat atau bahas, dan mengungkapkan
catatan mereka tentang beberapa peristiwa dalam jejak-jejak refleksi dan pengalaman,tidak mendiskualifikasi
mereka sebagai sejarawan
yang dapat diandalkan. Sebaliknya, ini
mempertinggi nilai catatan mereka.
Misalkan saja para
sejarawan pada Zaman Rasuli yang menyampaikan Perjanjian Baru tidak lebih dari
sejarah sebenarnya, sebuah kronik yang tidak
memihak dari beberapa peristiwa, terlepas
dari semua dampak luar biasa pada hati nurani dan pengalaman mereka sendiri serta aspek kekal yang muncul dari keadaan jiwa mereka yang bersemangat, dan kemudian membayangkan jika seberapa
banyak Anda dapat menyerukannya akan membuat pemikiran religius dari satu generasi di abad sembilan belas beralih
dari peristiwa-peristiwa tersebut. Kepentingan religius terhadap Perjanjian Baru inilah yang memberikan sifat abadi dan nilainya kepada generasi-generasi berikutnya. Ini bukan fakta-fakta sejarah Kristen abad pertama yang terutama menarik minat kita, tetapi faktor-faktor fungsional dari
pengalaman orang Kristen abad pertama. Oleh karena itu,
peneliti sejarah yang kompeten
menemukan nilai substansial dalam reaksi yang
tercermin dari kesadaran orang Kristen abad pertama terhadap
beberapa peristiwa di
masa itu, serta merenungkan kepentingan dan interpretasi religius
sebagai bagian esensial dari sejarah, dan bukan selubung
tak berharga yang harus dideteksi dan dibuang dalam
upaya mencapai “sisa sejarah asli.”
Sisa sejarah itu tidak akan berharga tanpa “imbuhan tradisional” yang telah dikumpulkan sebagai hasil dari kepentingan religius dan reaksi Kekristenan rasuli.
3. Metode historis tidak menghendaki kita menolak Perjanjian Baru sebagai norma yang
berlaku bagi kepercayaan dan pengalaman Kristen. Di sini pendekatan
historis
dibedakan dari pendapat filosofis tertentu. Ada sebuah sekolah filsafat modern terkenal
yang menganggap kebenaran itu relatif dan berubah-ubah bukan
stabil dan mutlak, dan berdasarkan hipotesis ini tidak ada wahyu kebenaran yang dapat diberikan dalam sejarah yang akan menjadi norma
terakhir
bagi generasi-generasi berikutnya. Tetapi ini terutama merupakan
persoalan filsafat, bukan persoalan sejarah. Tujuan metode sejarah adalah memahami fakta-fakta dan menafsirkan pelaksanaannya
dalam pengalaman Kekristenan abad pertama; bukan wewenangnya
untuk menentukan apakah fakta-fakta dan signifikansinya
itu ditujukan kepada pandangan dan hati
nurani
individu di abad kedua puluh. Dengan
demikian ini tidak mendiskualifikasinya
sebagai peneliti sejarah sebab
dia melihat suatu
standar dalam Perjanjian Baru
bagi pengalaman
religiusnya sendiri.
Apabila batasan-batasan ini dihargai dan dipatuhi, metode
historis memiliki nilai bagi peneliti injili, dan tidak perlu ditolak karena dalam arti apa
pun merupakan ancaman bagi iman Kristen yang paling teguh.
Fakta bahwa
Perjanjian Baru jelas terjalin erat dengan rangkaian besar sejarah manusia, bukan
menjadi penghalang bagi iman dan ketaatan, seharusnya menjadi alat bantu bagi keduanya. Selayaknya sangat menginspirasi apabila
menyadari bahwa Allah tentu
bersifat imanen dalam sejarah seperti
dalam Alkitab. Ini hanyalah sejenis
imanensi yang berbeda. Imanensi-Nya
dalam sejarah merupakan cara pemeliharaan yang luar biasa. Imanensi-Nya dalam Alkitab adalah dengan
wahyu khusus. Sejarah memang merupakan
“Kisah-Nya.” Inilah sebuah catatan petunjuk
Allah tentang perkembangan manusia. Sejarah adalah
bentangan luas penebusan
ilahi, dan Perjanjian Baru adalah puncak gunung bermahkotakan
kemuliaan yang memberikan pancaran anugerah dan keindahan seluruhnya. Semua kontur sejarah terdahulu dan berikutnya berpusat di seluruh tempat
menguntungkan pada puncak-puncak transendennya.
Setiap unsur yang berperan pada isi sastra oleh sejarah terdahulu dan kontemporer memperlihatkan kehidupan manusia yang
ditinggikan dan diterangi oleh makna
mulia rencana penebusan Allah. Dilihat
dengan cara ini, Perjanjian Baru sebagai hasil dan faktor sejarah manusia lebih dipandang sebagai buah karya Allah. Allah
yang sama, dari segi ilahi, menginspirasi individu para penulis, juga berkarya pada segi manusia untuk memperlengkapi situasi historis yang memadai di tempat
Kerajaan-Nya akan ditegakkan. Dalam terang cahaya suci ini, Kekristenan abad pertama menyajikan signifikansi, dan ditentukan untuk tetap, tidak paralel dengan catatan sejarah umat manusia.
Diterbitkan oleh. PT. Gandum Mas - Malang, Jatim