Friday, March 8, 2013

Project #9 - The Christmas Hope

The Christmas Hope

Sampul orisinal "The Christmas Hope"



Bukalah hatimu, temukan makna sejati dalam Christmas Hope.

Di saat-saat tertentu aku selalu menganggap ketika Tuhan menginginkan perhatian kita, Dia akan melakukan perkara besar demi membangunkan kita dari tidur lelap dan membawa kita kembali pada-Nya, namun ternyata aku keliru. Tuhan tak pernah berhenti bicara. Kitalah yang sulit mendengarkan. Dia selalu sabar, menanti hingga kita berani percaya. Kita sering tak sabar, terlalu menuntut kepastian. Kita ingin sesuatu yang nyata, dapat disentuh dan dilihat hingga membuat kita lebih yakin. Gunung-gunung, laut, dan langit masih kurang. Senyum, tawa, dan sentuhan bayi kita tidaklah cukup. Perlu lebih banyak lagi. Sebenarnya kita telah mendapatkannya, di sekitar kita, setiap hari. Seandainya kita menyediakan cukup waktu buat mendengar dan melihat, kita akan berpegang teguh pada Tuhan dan percaya, atau paling tidak, beberapa di antara kita. Seperti diriku.

 
Buku ketiga dalam seri Christmas Hope karya Donna VanLiere yang sangat menggugah hati.

Diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo

Project #8 - a Time to Dance

a Time to Dance
Sampul asli "a Time to Dance"


Kisah nyata mencengangkan tentang epidemi tarian aneh penyebab maut dan ketakutan di sebuah kota abad ke-16, lalu kepercayaan supranatural terus-menerus timbul.
Bulan Juli 1518, wabah menakutkan dan misterius melanda kota abad pertengahan Strasbourg. Ratusan pria dan wanita menari gila-gilaan, hari demi hari, di musim panas paling menyiksa. Kendati kaki melepuh dan berdarah, sekujur badan sakit akibat kelelahan, mereka tidak bisa berhenti. Sepanjang Agustus dan awal September, makin banyak orang terseret oleh dorongan menggentarkan serupa.
Saat epidemi mereda, hawa panas dan kelelahan menuntut nyawa tak terhitung jumlahnya, menyebabkan ribuan orang mengalami kekacauan dan kehilangan, juga teka-teki abadi bagi generasi berikutnya.
Buku ini menjelaskan mengapa wabah tari Strasbourg terjadi, membawa kita ke sebuah dunia yang sebagian besar lenyap, membangkitkan pandangan, suara, aroma, penyakit dan penderitaan, supranaturalisme kuat dan hedonisme menyedihkan di dunia akhir abad pertengahan.
Buku ini sekaligus memaparkan wawasan kreatif tentang perilaku orang-orang kaya ketika terdesak di luar batas daya tahan mereka. Bukan sekadar kisah detektif bersejarah jempolan, A Time to Dance, A Time to Die juga mengeksplorasi kemampuan berpikir manusia paling aneh dan ekstrem sebagai pemicu ketakutan dan irasionalitas.
JOHN WALLER adalah ahli sejarah kedokteran di Michigan State University. Selain menuntut ilmu di universitas Oxford dan London, dia juga menjadi penulis beberapa buku lainnya, termasuk The Real Oliver Twist (Icon, 2005), The Discovery of the Germ (Icon, 2002) dan Fabulous Science (OUP, 2002). Kini dia tinggal bersama istri dan kedua anaknya di Michigan.
Diterbitkan oleh: PT. Elex Media Komputindo

Project #7 - a Life Less Ordinary


a Life Less Ordinary


Sampul orisinal "a Life Less Ordinary"

A Life Less Ordinary mengawali debutnya di The Sunday Times bulan Mei 2003 dan segera menarik perhatian publik. Dalam buku ini, wartawan veteran Kim Hoh berbagi kemenangan, sukacita, sakit hati dan perjuangan orang-orang biasa, dengan kekuatan tekad semata-mata, mereka menjalani kehidupan sedemikian rupa sehingga membuat mereka menjadi orang-orang luar biasa.

Buku ini adalah gambaran warna-warni dunia dari segelintir warga Singapura. Bacalah kisah-kisah nyata dari:


§  Mantan prajurit komando eksentrik yang menyantap habis sepanci nasi penuh belatung
§  Wanita yang punya keahlian khusus merias jenazah
§  Pria yang nyaris menjadi wanita
§  Eks-narapidana yang menjadi sarjana
§  Dan masih banyak lagi

Wawancara dengan subjek-subjeknya dilakukan Wong Kim Hoh secara terampil, sensitif dan berwawasan luas, sehingga berhasil menyabet penghargaan keunggulan di bidang jurnalistik di Singapore Press Holdings Annual Awards tahun 2004.

“Korban AIDS, eks pasukan komando, bekas pelacur, pengusir hantu dan pecandu narkoba: abaikan kemewahan dan pesona brosur wisatanya – inilah Singapura sesungguhnya meski tidak menyenangkan namun betul-betul nyata.”
- Penulis/penyair Alvin Pang

Project #6 - Fifty Years of Silence


Fifty Years of Silence


Sampul orisinal "Fifty Years of Silence"
Bagaimana mengatakannya pada anak cucu kita? Maksud saya, perasaan malu dan tidak berharga yang begitu besar itu. Mau tak mau saya harus mengungkapkannya, tapi rasanya tidak sanggup berhadapan muka dengan mereka . . . jadi saya putuskan untuk mencurahkannya lewat tulisan ini. 

Masa kanak-kanak Jan Ruff-O’Herne yang penuh keceriaan di masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia berakhir ketika Jepang menyerbu pulau Jawa pada tahun 1942. Kemudian ia diasingkan di Kamp Penjara Ambarawa bersama ibu dan kedua saudara perempuannya.

Pada bulan Februari 1944, ketika Jan baru berusia 21 tahun, ia diambil dari kamp dan dipaksa menjadi budak seks dalam sebuah rumah bordir bagi para tentara Jepang, di sana ia sering dipukuli dan diperkosa selama tiga bulan. Kemudian ia dikembalikan ke kamp dengan ancaman bahwa seluruh keluarganya akan dihabisi jika ia berani coba-coba mengungkapkan kebenaran tentang kekejaman yang dideritanya.

Selama lima belas tahun, Jan tidak pernah memberitahu siapa pun tentang peristiwa yang dialaminya semasa perang, namun pada tahun 1992, setelah menyaksikan di televisi ketika para korban perkosaan pada perang Korea memohon keadilan, ia memutuskan untuk angkat bicara dan mendukung mereka. Namun sebelum ia sanggup bicara di depan publik, ia harus memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan tentang segala sesuatu yang pernah dideritanya pada keluarga dan teman-temannya.

Ketabahannya dalam bertahan hidup menunjukkan kekuatan batin dan imannya yang teguh. Selama lima belas tahun, ia berjuang sekuat tenaga tanpa kenal lelah untuk membela hak-hak kaum wanita dalam perang dan konflik bersenjata.

Sebuah catatan yang menyentuh hati dan emosional tentang trauma dan teror yang dialami Jan Ruff-O’Herne sebagai seorang wanita muda yang ‘amat menyenangkan.’ Kisahnya menyampaikan luka hati dan penghinaan dari perbudakan seks.  
– The Age

Sebuah buku yang luar biasa . . . Bacalah.
– The Canberra Times

© Sojourners Rendezvous
Maira Gall